Sabtu, 01 Januari 2011

Islam Otak-Otak (Episode 4)

Okey, sekarang kita lanjutin petualangan pemikiran gue. Untuk sekilas info, udah dua hari ini Kairo diguyur hujan. Sebenernya bukan diguyur sih, tapi dicipratin. Coz, gak lebih dari 5 menit pertiap kali ujan. Walaupun begitu, alhamdulillah, gak ada kata nggak bersyukur. Sedikit atau banyak, tetep nikmat dari Allah. Btul nggak ?! Betooooool.

Bagi yang belum baca tulisan sebelumnya, bisa diklik di sini :


Setelah gue terjangkit Phobia Islam dikarenakan melihat realita yang bertolakbelakang dengan nurani gue, jadilah gue menghabiskan waktu selama dua tahun di Kairo tanpa arah. Belajar sekedarnya, dan lebih fokus ke hobi. Di sini, mindset gw tereksplorasi. Selama dua tahun, gw melihat, ternyata learning by doing (belajar langsung peraktek), lebih menyenangkan daripada sekedar mempelajari retorika ngutek-ngutek dalil.

Kadang gue bingung sama orang yang sering debat dan ngadu argumen tentang masalah yang ghoib, sampe ke tahap saling mengkafirkan atau membid'ahkan satu sama lain. Contoh: masalah syurga dan neraka kekal atau nggak? Apakah Allah bisa dilihat di akhirat atau nggak? Orang tua Rosulullah masuk neraka atau syurga? Duh makin pinter aja orang zaman sekarang. Gue punya rumus, Kebenaran Pernyataan (Al-Qur'an dan Sunnah) berbanding lurus dengan Kenyataan. gua akan jelasin secara lebih rinci tentang rumus gw ini:

Pernyataan (القرآن و السنّة): Pernyataan dari Allah yang diturunkan kepada rosul-Nya (dalam konteks ini,   Sayyidina Muhammad saw) dan rosul-Nya itu, sudah tentu orang yang hatinya bersih, teruji kejujurannya, cerdas, tidak menutup-nutupi, dan amanah. Memang, kadang informasi yang dibawa oleh Rosulullah saw di luar nalar manusia biasa.

Terutama masalah sam'iyat (hal ghoib yang hanya diketahui informasinya dari Al-Qur'an dan Sunnah). Masalah ini nggak bisa dibuktikan dengan realita. Coz, alamnya udah beda. Jadi, perdebatan dalam masalah ini, (menurut gue) hanya berkutat pada kesimpulan yang didukung dalil tanpa bisa dibuktikan secara langsung. Orang yang terperosok ke dalam masalah perdebatan ini, bakal terus adu argumen tanpa ada yang berani membuktikan secara kasat mata (kecuali orang-orang yang Allah pilih untuk berma'rifat. Tapi biasanya, ahli ma'rifat nggak pernah terlibat dalam perdebatan dalam masalah sam'iyat ini). 

Di sini, faktor iman dibutuhin, kenapa? Ibaratnya gini, di sebuah kota, ada dua orang petualang, yang satu punya kapal pesiar dan yang satu lagi cuma punya skoci. Nah, yang punya kapal pesiar ini orangnya baik, dipercaya, udah terrekomendasi, terlisensi, dan lulus sensor. Sementara, yang punya skoci, nggak sebaik yang punya kapal pesiar.

Yang punya kapal pesiar udah berlayar melanglang buaya. Sedangkan yang punya skoci, masih muter-muter di sungai. Nah, ketika yang punya kapal pesiar pulang, dan bilang ke warga kota bahwa dia nemuin pulai yang lebih indah dari kotanya. Secara otomatis, warga akan percaya, menimbang attitude dan faktor-faktor legitimasi informasinya memang qualified (halah, bahasanya kok jadi berat gini). Walaupun, yang punya skoci gak percaya dan ngajak temen-temen seperskociannya buat nyorakin "elu bo'ong, elu bo'oooong!"

Kenyataan (Realita): Nah, faktor ini, adalah sebagai pembukti. Misalkan, ada sebuah hipotesa (pernyataan), bahwa kodok bisa beranak sapi. Kemudian, dilakukanlah dengan eksperimen, dan ternyata salah (iya lah, pasti salah. Sapi aja bingung, gimana nulis akte kelahiran kalo ternyata dia anak haram dari kodok?!) Itu artinya pernyataan itu kosong dari kebenaran, alias ngibul, alias hoax. 

Nah, untuk permasalahan ghaib yang kita cuma dapet informasi dari Al-Qur'an dan Assunnah -buat orang yang hobi ngedebatin hal semacam itu- bro, untuk apa sih pada ngedebatin hal kayak gitu? Toh pembuktian secara indrawi juga mustahil. Kalau itu bisa bikin hati kita lebih deket sama Allah, silahkan lah. Tapi, kalau ternyata cuma jadi alat untuk mengkafirkan saudara sendiri, atau cuma pengen dibilang "berilmu", apalagi bikin hati makin ragu, untuk apa?  Toh kalau ingin pembuktian, silahkan aja pergi ke alam gaib. Bisa kok, tinggal tancepin piso di leher. Dijamin sampe! (Paragraf ini, gw dedikasiin untuk semua ahli kalam, mahasiswa dan dosen aqidah filsafat -terutama kampus gue yang lama, UIN-, dan orang awam yang terjerumus pada masalah ini).

Back to my story....

Sementara gue lagi asik-asiknya mengeksplorasi bakat dan mempelajari psikologi, di sisi lain (bukan di dunia lain), mama (mama itu sebutan gw buat bibi yang udah ngasuh gw selama ini. Kalo ibu kandung gue, gw panggil "ummi" dan bapak kandung gue, ya gue panggil "bapak") terus neken gue biar belajar agama lebih serius. Untuk mencapai hal itu, mama gue bikin banyak motivasi. Sampe-sampe, sebelum berangkat, gue dijodohin sama cewe (yang katanya -coz gw belum di izinin liat-) amat sangat super duper cantik sekali banget, anak ustadzah, keturunan Arab. Di Bekasi. Tapi, dengan syarat, gue harus serius nuntut agama.

Pergolakan batin semakin kuat. Gue seakan ditarik ke dua arah yang berlawanan dalam waktu yang sama. 'Ala kulli hal, gue terimakasih sama mama, dan selalu berdoa kepada Allah, dalam kebimbangan batin ini, semoga Allah menunjukkan jalan keluar dan memudahkan gue memenuhi cita-cita mama dan almarhum papap (suaminya yang meninggal pas gue masih SMA). satu hal yang pengen gua lakuin untuk mereka, gue mau, jadi pemberi syafa'at buat mereka berdua di hari kiamat, biar kita bisa kumpul bareng lagi. Gua pengen mereka bangga dan ngerasain hasil yang memuaskan karena udah susah payah ngasuh anak nakal -tapi imut- kaya gua ini.

Tapi, gue bener-bener gak tau harus melangkah ke mana. Sementara, motivasi itu terus mendorong gue dari belakang. Stay tune... Nantikan kelanjutannya...  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar